Kamis, 21 Agustus 2014

Aku Melawan 1



Ilustrasi. sumber : onoaja.blogspot.com

Pendidikan, Ya berpendidikan. Aku beruntung bisa mendapatkan pendidikan HIS, MULO dan OSVIA. Waktu itu, hanya orang – orang tertentu yang bisa menikmati pendidikan. Mereka adalah orang-orang yang tidak akan melawan penjajahan. Ribuan anak yang tidak bisa menempuh pendidikan di pelosok kampung. 

Namun, Orang tuaku selalu mendoktrin untuk melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan. Dan Kehidupanku sejak kecil tidak pernah diistemewakan dan selalu dibiarkan bermain dengan orang-orang biasa untuk mengetahui situasi penderitaan. Ditambah lagi suasana pegunungan yang mengajarkan untuk peduli alam dan tidak takut dengan segala ancaman manusia. Kampung kelahiranku berada di gunung dan dekat sungai Walennae, Namanya kampung Citta.

Orang tuaku juga selalu berpesan “Hidup hanya sekali, jangan kau sia-siakan. Orang diingat bukan karena kekuasaan dan hartanya, melainkan perbuatan untuk memerdekan orang-orang tertindas”. Pesan itu selalu mengintaiku ketika bersentuhan dengan Belanda dan untuk selalu berniat melawannya kelak. Aku memang dilahirkan untuk melawan dan melawan dan terus melawan penjajahan baik oleh bangsa sendiri maupun bangsa asing.

Seorang gadis belia, Anak Datu Tanete membuat hatiku luluh, sehingga kuputuskan untuk menikah agar kelak mendapatkan generasi yang bisa melawan dan melawan, ketika aku gugur dalam perjuangan. Andi Hajerah namanya, mukanya sangat halus dan cantik. Sikap yang ramah dan ceria membuat diriku jatuh cinta. Dialah yang menghancurkan keperjakaanku pada malam pertama, tapi tak mengapa, toh dia yang akan menjadi Ibu dari anak-anakku.

Tidak lama berselang setelah melepas keperjakaanku. Aku mendapat undangan untuk menghadiri sebuah acara kepemudaan di Bioskop Serene, Makassar. Dalam undangan itu, Aku dianggap sebagai pimpinan pemuda gerilyawan atau bawah tanah dari Citta dan Tanete. Entah, siapa yang memberi gelar itu.

Ruangan bioskop sangat ramai, bangku kayu tidak muat peserta pertemuan. Ratusan pemuda dan tokoh masyarakat berdatangan dari daerah. Dalam ruangan aku ditegur oleh orang tidak kukenal, tapi dia mengenal diriku. “Saatnya kita bebaskan negeri ini dari penjajahan asing, bung muis”. Kata orang itu.

“Siap, bung”. Jawabku. Seorang pengawalnya memberitahu bahwa itulah pejuang revolusi kita yang dari Jakarta, namanya Bung Karno. Dari situlah aku mengenal yang namanya Bung Karno.
Seorang pemuda dari belakangku tiba-tiba melompat kearah depan dan menguasai pengeras suara dan berkata “Kami pemuda Sulawesi Selatan, mulai sekarang tidak akan membiarkan merah putih diturunkan lagi, kecuali melangkahi mayat kami”. Setelah itu, diiringi tepuk tangan seluruh peserta pertemuan dan diselingi dengan kata “merdeka”. “merdeka”. “merdeka” kemudian dengan kepalang tangan sebelah kiri keatas dan dikuti oleh semua peserta.

Seluruh peserta pertemuan berbondong-bondong berjalan menuju lapangan Freylingsplein, Sekarang lapangan Hasanuddin. Pidato Bung Karno seolah ingin meruntuhkan panggung, suaranya yang keras dan tegas serta berapi-api, seakan ingin hancurkan penjajah asing dengan pidato. Para peserta upacara pun bertepuk tangan mendengar pidato bung karno dan melihat bendera merah putih berkibar untuk pertama kalinya di Sulawesi Selatan (30/04/1945). Perjalanan yang melelahkan dari Tanete hilang seketika.

Sesudah upacara, Kami pulang ke kampung masing-masing dengan membawa misi membentuk dan memperkuat pasukan gerilya atau pasukan bawah tanah untuk merebut kemerdekaan dari pihak penjajah. Pasukan gerilya yang sudah lama kubentuk di Citta kembali kujadikan andalan menggempur penjajah, namun tetap merekrut pemuda yang berani dari Tanete dan Barru agar kekuatan semakin nyata. Selama empat bulan lamanya Pasukan Gerilya semakin banyak hingga mencapai ratusan orang. Pemuda ini disatukan dalam wadah Gerakan Pemuda Tanete (GPT).

Pasukan GPT seolah seperti kuda. Menanggung beban dengan meninggalkan anak istri dan bertaruh nyawa demi mempertahankan merah putih tetap tegak di tanah bugis-makassar. Adapun sasaran pertama adalah menggempur barak Jepang. Pikiran bawah sadarku selalu mengintai bahwa melawan penjajah bagaikan membelah lautan. Mereka mempunyai perlengkapan senjata yang lengkap seperti laras panjang, pistol, samurai, dan granat. Sedangkan pasukan bawah tanahku hanya bersenjatakan badik dan tombak. Tapi kami punya semangat untuk menang.

“Kemerdekaan suatu kaum tidak akan pernah terjadi tanpa perjuangan kaum itu sendiri untuk merebut kemerdekaannya”. Pesan itu juga selalu menghantuiku dan selalu memberiku semangat untuk melawan penindasan.

Kamipun dengan gagah berani menyerang barak Jepang di Pacciro, Takkalasi. Kala itu,  Pasukan Jepang tidak mau melakukan kontak fisik dan menyatakan menyerah. Mereka hanya bisa pasrah. Salah satu dari mereka mengatakan “kami memikirkan nasib keluarga kami yang ada di Nagasaki dan Hirosima”. 3 hari yang lalu telah dijatuhi bom oleh sekutu, Jepang hancur lebur. Segala persenjataannya kami rebut dengan paksa dan untuk digunakan mempertahankan merah putih.

Namun, pasca kami meninggalkan barak Jepang, Aku mendengar kabar bahwa Tentara NICA dan KNIL sudah menginjakkan kembali kaki di Sulawesi Selatan, mereka masuk melalui Pare-Pare dan Makassar. Urat sarafku serasa ingin putus, sebuah telinga pintu tak kusadari kutinju dengan tangan kiriku. Pokoke kesal mendengar itu semua. Keserakahan yang membuat penindasan ini tiada akhir.

Yang lebih sakit lagi, seorang teman dekatku di Soppeng memilih untuk bekerjasama dengan Belanda demi menyelamatkan dirinya. Hatiku teriris-iris atas keberhianatannya, dasar pengecut. Mereka memilih untuk menjilat pantat kompeni daripada memerdekan kaumnya dari penjajahan. Mereka menutup mata hatinya, padahal saudara-saudaranya sudah akan mati kelaparan akibat padi dan sawahnya dirampas penjajah.  Semoga nasi yang mereka makan tidak menjadi api dalam tubuhnya.

Seorang mata-mata kami berlari ngos-ngosan dari arah Pare-Pare, Ia memberitahu bahwa Belanda mulai akan bergerak kearah Tanete Barru, mereka akan menuju ke Makassar. Dalam hatiku, Kemerdekaan itu ternyata tidak mudah, lepas Jepang, Belanda dan Sekutunya kembali ingin berkuasa. Menjajah memang enak, merampas hak-hak orang lain dengan seenaknya. Namun, kata hatiku berkata lain lagi, Cukup, Cukup, Cukup, Bangsa kami ingin bebas dari penjajahan. Kerja rodi yang kau terapkan cukup membuat kami sengsara.  Nenek – nenek kami, kau jadikan budak di tanah Jawa dan Sumatera bahkan di Negeri kincirmu. Dan mulai hari ini, kami akan terus melawanmu sampai titik darah penghabisan.

Pasukan bawah tanah GPT menuju kearah Pekkae – Bottoe. Pasukan tersusun rapi dengan panjang 3 kilometer untuk mengepung pasukan Belanda yang hendak menuju ke Makassar. Kabel-kabel jaringan telepon Makassar – ParePare harus kami putus supaya komunikasi kalian tidak ada lagi. Jembatan Bottoe pun harus kami hancurkan supaya jalur transportasi Makassar – ParePare terputus.

Malam pun tiba, suara-suara truk dan jeep terdengar dari jauh, seorang pasukan kami menyerang mobil yang pertama dengan granat, Ia harus gugur karena terkena peluru panas Belanda. Orang tuaku saja meninggal dunia tidak menangis, kali ini air mataku tidak tahan jatuh berderai-derai. Aku tak tau lagi, apa yang harus kukatakan pada keluarganya nanti.. sungguh memukul hatiku, karena anaknya masih kecil masih berumur dua tahun. Dan istrinya sedang sakit-sakitan dan lumpuh. Perjuangan amir tiada duanya rela korbankan keluarga dan dirinya demi berkibarnya merah putih  di Tanah Tanete.

Dengan kondisi marah dan emosi, Pasukan GPT menggempur pasukan belanda ditengah-tengah, hanya sebagian kecil yang berhasil melarikan diri kearah Pare-Pare.  Ratusan pasukan belanda meninggal dunia. Konon kabarnya Westerling marah besar dan berencana akan membalas dendam. To be countinue…
Selamat merayakan HUT RI yang ke-69
Ispirasi dari seorang pejuang 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar