![]() |
Ilustrasi. sumber : onoaja.blogspot.com |
Pendidikan, Ya berpendidikan.
Aku beruntung bisa mendapatkan pendidikan HIS, MULO dan OSVIA. Waktu itu, hanya
orang – orang tertentu yang bisa menikmati pendidikan. Mereka adalah
orang-orang yang tidak akan melawan penjajahan. Ribuan anak yang tidak bisa
menempuh pendidikan di pelosok kampung.
Namun, Orang tuaku selalu
mendoktrin untuk melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan. Dan Kehidupanku
sejak kecil tidak pernah diistemewakan dan selalu dibiarkan bermain dengan
orang-orang biasa untuk mengetahui situasi penderitaan. Ditambah lagi suasana
pegunungan yang mengajarkan untuk peduli alam dan tidak takut dengan segala
ancaman manusia. Kampung kelahiranku berada di gunung dan dekat sungai
Walennae, Namanya kampung Citta.
Orang tuaku juga selalu
berpesan “Hidup hanya sekali, jangan kau sia-siakan. Orang diingat bukan karena
kekuasaan dan hartanya, melainkan perbuatan untuk memerdekan orang-orang
tertindas”. Pesan itu selalu mengintaiku ketika bersentuhan dengan Belanda dan
untuk selalu berniat melawannya kelak. Aku memang dilahirkan untuk melawan dan melawan
dan terus melawan penjajahan baik oleh bangsa sendiri maupun bangsa asing.
Seorang gadis
belia, Anak Datu Tanete membuat hatiku luluh, sehingga kuputuskan untuk menikah
agar kelak mendapatkan generasi yang bisa melawan dan melawan, ketika aku gugur
dalam perjuangan. Andi Hajerah namanya, mukanya sangat halus dan cantik. Sikap
yang ramah dan ceria membuat diriku jatuh cinta. Dialah yang menghancurkan
keperjakaanku pada malam pertama, tapi tak mengapa, toh dia yang akan menjadi
Ibu dari anak-anakku.
Tidak lama
berselang setelah melepas keperjakaanku. Aku mendapat undangan untuk menghadiri
sebuah acara kepemudaan di Bioskop Serene, Makassar. Dalam undangan itu, Aku
dianggap sebagai pimpinan pemuda gerilyawan atau bawah tanah dari Citta dan
Tanete. Entah, siapa yang memberi gelar itu.
Ruangan bioskop
sangat ramai, bangku kayu tidak muat peserta pertemuan. Ratusan pemuda dan
tokoh masyarakat berdatangan dari daerah. Dalam ruangan aku ditegur oleh orang
tidak kukenal, tapi dia mengenal diriku. “Saatnya kita bebaskan negeri ini dari
penjajahan asing, bung muis”. Kata orang itu.
“Siap, bung”.
Jawabku. Seorang pengawalnya memberitahu bahwa itulah pejuang revolusi kita
yang dari Jakarta, namanya Bung Karno. Dari situlah aku mengenal yang namanya
Bung Karno.
Seorang pemuda dari
belakangku tiba-tiba melompat kearah depan dan menguasai pengeras suara dan
berkata “Kami pemuda Sulawesi Selatan, mulai sekarang tidak akan membiarkan
merah putih diturunkan lagi, kecuali melangkahi mayat kami”. Setelah itu,
diiringi tepuk tangan seluruh peserta pertemuan dan diselingi dengan kata
“merdeka”. “merdeka”. “merdeka” kemudian dengan kepalang tangan sebelah kiri
keatas dan dikuti oleh semua peserta.
Seluruh peserta pertemuan
berbondong-bondong berjalan menuju lapangan Freylingsplein, Sekarang lapangan
Hasanuddin. Pidato Bung Karno seolah ingin meruntuhkan panggung, suaranya yang
keras dan tegas serta berapi-api, seakan ingin hancurkan penjajah asing dengan
pidato. Para peserta upacara pun bertepuk tangan mendengar pidato bung karno
dan melihat bendera merah putih berkibar untuk pertama kalinya di Sulawesi
Selatan (30/04/1945). Perjalanan yang melelahkan dari Tanete hilang seketika.
Sesudah upacara,
Kami pulang ke kampung masing-masing dengan membawa misi membentuk dan
memperkuat pasukan gerilya atau pasukan bawah tanah untuk merebut kemerdekaan
dari pihak penjajah. Pasukan gerilya yang sudah lama kubentuk di Citta kembali
kujadikan andalan menggempur penjajah, namun tetap merekrut pemuda yang berani
dari Tanete dan Barru agar kekuatan semakin nyata. Selama empat bulan lamanya
Pasukan Gerilya semakin banyak hingga mencapai ratusan orang. Pemuda ini
disatukan dalam wadah Gerakan Pemuda Tanete (GPT).
Pasukan GPT seolah
seperti kuda. Menanggung beban dengan meninggalkan anak istri dan bertaruh
nyawa demi mempertahankan merah putih tetap tegak di tanah bugis-makassar.
Adapun sasaran pertama adalah menggempur barak Jepang. Pikiran bawah sadarku
selalu mengintai bahwa melawan penjajah bagaikan membelah lautan. Mereka
mempunyai perlengkapan senjata yang lengkap seperti laras panjang, pistol,
samurai, dan granat. Sedangkan pasukan bawah tanahku hanya bersenjatakan badik
dan tombak. Tapi kami punya semangat untuk menang.
“Kemerdekaan suatu
kaum tidak akan pernah terjadi tanpa perjuangan kaum itu sendiri untuk merebut
kemerdekaannya”. Pesan itu juga selalu menghantuiku dan selalu memberiku
semangat untuk melawan penindasan.
Kamipun dengan
gagah berani menyerang barak Jepang di Pacciro, Takkalasi. Kala itu, Pasukan Jepang tidak mau melakukan kontak
fisik dan menyatakan menyerah. Mereka hanya bisa pasrah. Salah satu dari mereka
mengatakan “kami memikirkan nasib keluarga kami yang ada di Nagasaki dan
Hirosima”. 3 hari yang lalu telah dijatuhi bom oleh sekutu, Jepang hancur lebur.
Segala persenjataannya kami rebut dengan paksa dan untuk digunakan
mempertahankan merah putih.
Namun, pasca kami
meninggalkan barak Jepang, Aku mendengar kabar bahwa Tentara NICA dan KNIL
sudah menginjakkan kembali kaki di Sulawesi Selatan, mereka masuk melalui
Pare-Pare dan Makassar. Urat sarafku serasa ingin putus, sebuah telinga pintu
tak kusadari kutinju dengan tangan kiriku. Pokoke kesal mendengar itu semua.
Keserakahan yang membuat penindasan ini tiada akhir.
Yang lebih sakit
lagi, seorang teman dekatku di Soppeng memilih untuk bekerjasama dengan Belanda
demi menyelamatkan dirinya. Hatiku teriris-iris atas keberhianatannya, dasar
pengecut. Mereka memilih untuk menjilat pantat kompeni daripada memerdekan
kaumnya dari penjajahan. Mereka menutup mata hatinya, padahal
saudara-saudaranya sudah akan mati kelaparan akibat padi dan sawahnya dirampas
penjajah. Semoga nasi yang mereka makan
tidak menjadi api dalam tubuhnya.
Seorang mata-mata
kami berlari ngos-ngosan dari arah Pare-Pare, Ia memberitahu bahwa Belanda mulai
akan bergerak kearah Tanete Barru, mereka akan menuju ke Makassar. Dalam
hatiku, Kemerdekaan itu ternyata tidak mudah, lepas Jepang, Belanda dan
Sekutunya kembali ingin berkuasa. Menjajah memang enak, merampas hak-hak orang
lain dengan seenaknya. Namun, kata hatiku berkata lain lagi, Cukup, Cukup,
Cukup, Bangsa kami ingin bebas dari penjajahan. Kerja rodi yang kau terapkan
cukup membuat kami sengsara. Nenek –
nenek kami, kau jadikan budak di tanah Jawa dan Sumatera bahkan di Negeri
kincirmu. Dan mulai hari ini, kami akan terus melawanmu sampai titik darah
penghabisan.
Pasukan bawah tanah
GPT menuju kearah Pekkae – Bottoe. Pasukan tersusun rapi dengan panjang 3
kilometer untuk mengepung pasukan Belanda yang hendak menuju ke Makassar.
Kabel-kabel jaringan telepon Makassar – ParePare harus kami putus supaya
komunikasi kalian tidak ada lagi. Jembatan Bottoe pun harus kami hancurkan
supaya jalur transportasi Makassar – ParePare terputus.
Malam pun tiba,
suara-suara truk dan jeep terdengar dari jauh, seorang pasukan kami menyerang
mobil yang pertama dengan granat, Ia harus gugur karena terkena peluru panas
Belanda. Orang tuaku saja meninggal dunia tidak menangis, kali ini air mataku
tidak tahan jatuh berderai-derai. Aku tak tau lagi, apa yang harus kukatakan
pada keluarganya nanti.. sungguh memukul hatiku, karena anaknya masih kecil
masih berumur dua tahun. Dan istrinya sedang sakit-sakitan dan lumpuh.
Perjuangan amir tiada duanya rela korbankan keluarga dan dirinya demi
berkibarnya merah putih di Tanah Tanete.
Dengan kondisi
marah dan emosi, Pasukan GPT menggempur pasukan belanda ditengah-tengah, hanya
sebagian kecil yang berhasil melarikan diri kearah Pare-Pare. Ratusan pasukan belanda meninggal dunia.
Konon kabarnya Westerling marah besar dan berencana akan membalas dendam. To be
countinue…
Selamat
merayakan HUT RI yang ke-69
Ispirasi
dari seorang pejuang 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar