Jumat, 15 Agustus 2014

Cerita dari Ompo



Sehabis mandi di kolam renang permandian ompo, perut kami keroncongan.  Si Om memutuskan mencari warung bakso, demi memenuhi menu makanan favorit kedua kemenakan, Afee dan dan Mia.  Mobil diarahkan menuju ke waduk yang berada di belakang Ompo.


Si Om mengenang masa kecilnya di sekitar waduk ompo, sekitar 20 tahun yang lalu. Siswa SMP dan SMA yang aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka sering mengadakan kegiatan tahunan dengan kemah bersama pada 17an Agustus.


Ketika Si Om  mendapatkan kesempatan untuk berkemah, Ia tak luput menyempatkan diri untuk ikut menombak ikan bersama warga setempat pada malam hari.  Karena waktu itu, Ikan didalam waduk dikuasai oleh pengelola waduk, yang juga saudara kandung penguasa kota. Dengan cara begini, Si Om dapat bermain sambil mendapatkan ikan dengan gratis alias tanpa membayar sesen pun, maklum jam 10an malam keatas para penjaga waduk tertidur pulas..


Lokasi waduk ompo juga kerap digunakan muda mudi untuk berpacaran baik siang hari maupun malam hari. Pada siang hari, muda mudi yang berbeda sekolah sering menggunakan tempat ini sebagai tempat untuk bolos. Pada malam hari, muda mudi menggunakan tempat ini untuk menikmati keindahan alam sambil bercinta..


“hmmm..gelap gelap gitu ya, teringat cabe-cabean era sekarang”..kataku dalam hati hehehe

Ikatan motor Indonesia (IMI) sering menggunakan kawasan waduk sebagai lokasi road race tingkat provinsi, karena jalan-jalan aspal sangat mulus waktu itu. 20 tahun berlalu, suasana waduk ompo tidak jauh berbeda dengan sekarang.


“pak, pesan bakso 4, ya”. Kataku. “Iya dek” jawab si tukang bakso. Puluhan gerobak bantuan kementrian sosial terbengkalai tidak terpakai di kawasan ini.  Kemungkinan karena harga sewa yang terlalu tinggi sehingga pedagang enggan menempatinya,  ditambah lagi tempat yang kurang strategis karena berada di belakang waduk.


“kok ompo tidak jauh berbeda selama 20 tahun ini ya, pak ?” tanyaku ke tukang bakso, sambil menunggu racikan baksonya.


“ini baru mau dibangun dek. Beberapa tahun lalu, rumah-rumah warga diusir paksa oleh pemerintah karena surat tanah yang dimiliki warga dinyatakan pemerintah tidak berlaku lagi”. Jawab si tukang bakso.


“rumahku dulu daerah sana dek”, sambil menunjuk kearah depan “tapi diusir paksa satpol pp” jawab si tukang bakso.


“kenapa tidak melawan pak !. bukankah bapak juga punya hak atas tempat tinggal”


“ada temanku dulu pensiunan tentara sempat mengamuk dengan menembak keatas berkali-kali, sewaktu pengusiran paksa, tapi apa yang didapat, malah dipenjarakan oleh pemerintah. Berbulan-bulan di sel dan tetap mempertahankan bahwa dia punya hak atas tanah dan rumah tersebut. Seandainya bukan instruksi pimpinan dari Makassar, mungkin dia tidak mau pindah. Sekalian diberi ganti rugi tanah dan rumah diatas gunung tinco sana, dek” kenang si tukang bakso.


“kalau saya mana mau tinggal jauh di gunung sana, dan kita mencari makan didaerah sini, dek. Itu sulitnya kita sebagai orang kecil. Ketika pemerintah butuh pembangunan kita selalu menjadi korbannya tanpa mau memikirkan masa depan kami. Padahal disitulah tugas pemerintah harus memperhatikan hak atas papan dan pangan “rakyat biasa” seperti kami ini” lanjut si tukang bakso.


“apa memang rencana dibangun disini, Pak ?”


“katanya, pemerentah ingin menambah lokasi permandian dengan membangun waterboom” kata si tukang bakso


“oh, permandian modern itu ya pak, tapi menghilangkan sisi kemanusiaanya”


“ya begitulah dek” diikuti dengan muka senyum tersipu si tukang bakso.

Hidangan bakso diangkat satu persatu kehadapan kami. “kenapa bisa dibilang ompo disini, pak?”. Tanyaku yang penuh penasaran,


“oh, itu sejarah sumber air disini. Ceritanya dulu, sawah-sawah warga mongering karena kemarau. Soarang petani bersama sapinya datang melihat lokasi pertaniannya yang mengering, dan kemudian ditemukanlah sumber air ini secara tiba-tiba. Maka dinamakanlah ompo”. Ompo merupakan bahasa bugis yang artinya muncul secara tiba-tiba.


“orang darimana biasanya yang banyak mengunjungi ompo ini, pak?”


“orang amparita, to lautan, biasanya mereka pakai ta tiga truk”


“kenapa mereka datang kesini, padahal kan ada tempat wisata di sidrap dan lejja yang lebih dekat” tanyaku sambil menghabiskan satu persatu bakso yang dalam mangkuk.


“orang-orang yang datang biasanya tidak hanya sekedar mandi, tapi juga datang untuk syukuran. Mereka kadang potong hewan piaraan seperti ayam, sapi, dan kambing ketika hasil panennya melimpah. Biasa juga ada orang datang mengambil air ompo di sumber utamannya untuk digunakan sebagai obat untuk mendapatkan jodoh secepatnya”. Jawab si tukang bakso, sambil duduk disebuah kursi plastik dengan sebatang rokok kretek didepan kami.


“banyak juga ya orang selalu datang, pak”


“iya dek, biasanya kalau sudah lebaran pemerintah dapat 10 – 20 juta per hari”


“ banyak ya, pak. Semoga aja tidak disunat dinas terkait dan penguasa sebelum digabungkan ke Pendapatan Asli Daerah (PAD)”.  Hehehe


“kami permisi dulu ya, pak” kami pun pamit untuk pulang karena bakso sudah habis dilahap.


“siapa tau mau menginap dek, ada juga hotelnya itu, namanya hotel delta”, si tukang bakso menawarkan ke kami, sambil menunjuk kearah samping.

Hmmm. Menginap, menginap.. enak saja, emang aku selingkuhan murahan, pak.. hehehe. Gak level deh..hehehehe.


“tidak ji pak, adekku mulai kecapaean, kayaknya sudah pada mengantuk nih”..hehehe


Kami naik ke mobil dan bergegas untuk pulang agar Afee dan Mia dapat beristirahat dengan tenang. Keduanya nampak sangat kecapean berenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar