Sehabis
mandi di kolam renang permandian ompo, perut kami keroncongan. Si Om memutuskan mencari warung bakso, demi
memenuhi menu makanan favorit kedua kemenakan, Afee dan dan Mia. Mobil diarahkan menuju ke waduk yang berada
di belakang Ompo.
Si
Om mengenang masa kecilnya di sekitar waduk ompo, sekitar 20 tahun yang lalu.
Siswa SMP dan SMA yang aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka sering
mengadakan kegiatan tahunan dengan kemah bersama pada 17an Agustus.
Ketika
Si Om mendapatkan kesempatan untuk
berkemah, Ia tak luput menyempatkan diri untuk ikut menombak ikan bersama warga
setempat pada malam hari. Karena waktu
itu, Ikan didalam waduk dikuasai oleh pengelola waduk, yang juga saudara
kandung penguasa kota. Dengan cara begini, Si Om dapat bermain sambil
mendapatkan ikan dengan gratis alias tanpa membayar sesen pun, maklum jam 10an
malam keatas para penjaga waduk tertidur pulas..
Lokasi
waduk ompo juga kerap digunakan muda mudi untuk berpacaran baik siang hari
maupun malam hari. Pada siang hari, muda mudi yang berbeda sekolah sering
menggunakan tempat ini sebagai tempat untuk bolos. Pada malam hari, muda mudi
menggunakan tempat ini untuk menikmati keindahan alam sambil bercinta..
“hmmm..gelap
gelap gitu ya, teringat cabe-cabean era sekarang”..kataku dalam hati hehehe
Ikatan
motor Indonesia (IMI) sering menggunakan kawasan waduk sebagai lokasi road race
tingkat provinsi, karena jalan-jalan aspal sangat mulus waktu itu. 20 tahun
berlalu, suasana waduk ompo tidak jauh berbeda dengan sekarang.
“pak,
pesan bakso 4, ya”. Kataku. “Iya dek” jawab si tukang bakso. Puluhan gerobak
bantuan kementrian sosial terbengkalai tidak terpakai di kawasan ini. Kemungkinan karena harga sewa yang terlalu
tinggi sehingga pedagang enggan menempatinya, ditambah lagi tempat yang kurang strategis
karena berada di belakang waduk.
“kok
ompo tidak jauh berbeda selama 20 tahun ini ya, pak ?” tanyaku ke tukang bakso,
sambil menunggu racikan baksonya.
“ini
baru mau dibangun dek. Beberapa tahun lalu, rumah-rumah warga diusir paksa oleh
pemerintah karena surat tanah yang dimiliki warga dinyatakan pemerintah tidak
berlaku lagi”. Jawab si tukang bakso.
“rumahku
dulu daerah sana dek”, sambil menunjuk kearah depan “tapi diusir paksa satpol
pp” jawab si tukang bakso.
“kenapa
tidak melawan pak !. bukankah bapak juga punya hak atas tempat tinggal”
“ada
temanku dulu pensiunan tentara sempat mengamuk dengan menembak keatas berkali-kali,
sewaktu pengusiran paksa, tapi apa yang didapat, malah dipenjarakan oleh
pemerintah. Berbulan-bulan di sel dan tetap mempertahankan bahwa dia punya hak
atas tanah dan rumah tersebut. Seandainya bukan instruksi pimpinan dari Makassar,
mungkin dia tidak mau pindah. Sekalian diberi ganti rugi tanah dan rumah diatas
gunung tinco sana, dek” kenang si tukang bakso.
“kalau
saya mana mau tinggal jauh di gunung sana, dan kita mencari makan didaerah sini,
dek. Itu sulitnya kita sebagai orang kecil. Ketika pemerintah butuh pembangunan
kita selalu menjadi korbannya tanpa mau memikirkan masa depan kami. Padahal disitulah
tugas pemerintah harus memperhatikan hak atas papan dan pangan “rakyat biasa”
seperti kami ini” lanjut si tukang bakso.
“apa
memang rencana dibangun disini, Pak ?”
“katanya,
pemerentah ingin menambah lokasi permandian dengan membangun waterboom” kata si
tukang bakso
“oh,
permandian modern itu ya pak, tapi menghilangkan sisi kemanusiaanya”
“ya
begitulah dek” diikuti dengan muka senyum tersipu si tukang bakso.
Hidangan
bakso diangkat satu persatu kehadapan kami. “kenapa bisa dibilang ompo disini,
pak?”. Tanyaku yang penuh penasaran,
“oh,
itu sejarah sumber air disini. Ceritanya dulu, sawah-sawah warga mongering karena
kemarau. Soarang petani bersama sapinya datang melihat lokasi pertaniannya yang
mengering, dan kemudian ditemukanlah sumber air ini secara tiba-tiba. Maka dinamakanlah
ompo”. Ompo merupakan bahasa bugis yang artinya muncul secara tiba-tiba.
“orang
darimana biasanya yang banyak mengunjungi ompo ini, pak?”
“orang
amparita, to lautan, biasanya mereka pakai ta tiga truk”
“kenapa
mereka datang kesini, padahal kan ada tempat wisata di sidrap dan lejja yang
lebih dekat” tanyaku sambil menghabiskan satu persatu bakso yang dalam mangkuk.
“orang-orang
yang datang biasanya tidak hanya sekedar mandi, tapi juga datang untuk
syukuran. Mereka kadang potong hewan piaraan seperti ayam, sapi, dan kambing
ketika hasil panennya melimpah. Biasa juga ada orang datang mengambil air ompo
di sumber utamannya untuk digunakan sebagai obat untuk mendapatkan jodoh
secepatnya”. Jawab si tukang bakso, sambil duduk disebuah kursi plastik dengan
sebatang rokok kretek didepan kami.
“banyak
juga ya orang selalu datang, pak”
“iya
dek, biasanya kalau sudah lebaran pemerintah dapat 10 – 20 juta per hari”
“
banyak ya, pak. Semoga aja tidak disunat dinas terkait dan penguasa sebelum
digabungkan ke Pendapatan Asli Daerah (PAD)”.
Hehehe
“kami
permisi dulu ya, pak” kami pun pamit untuk pulang karena bakso sudah habis
dilahap.
“siapa
tau mau menginap dek, ada juga hotelnya itu, namanya hotel delta”, si tukang
bakso menawarkan ke kami, sambil menunjuk kearah samping.
Hmmm.
Menginap, menginap.. enak saja, emang aku selingkuhan murahan, pak.. hehehe. Gak
level deh..hehehehe.
“tidak
ji pak, adekku mulai kecapaean, kayaknya sudah pada mengantuk nih”..hehehe
Kami
naik ke mobil dan bergegas untuk pulang agar Afee dan Mia dapat beristirahat
dengan tenang. Keduanya nampak sangat kecapean berenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar