Suasana malam cukup dingin, pohon rimbun dan dataran yang tinggi di
tengah kota mengigatkan kita hidup di sebuah desa yang sanagt sejuk. Puluhan
kaum muda dan orang tua yang mayoritas kaum lelaki memadati warung kopi
semarang, yang berada di pusat kota soppeng atau biasa disebut Kota Kalong.
Kalong yang bergelantungan di pusat kota menjadi salah satu ikon kota soppeng.
“Kopi susu, Pak” kata seorang pemuda. Si pemilik warung pun menjawab
“iya, tunggu sebentar dek”. Berselang 10 menit kopi susu pun datang dan siap
untuk dinikmati.
Suasana lebaran Idul Fitri masih terasa, karena baru 14 jam berlalu. Seorang
kawan bercerita dalam budaya bugis Makassar, biasanya sesudah lebaran makanan
sangat berlimpah di tiap rumah warga. Dan terjadi kegiatan saling mengunjungi
untuk saling bermaaf-maafan baik antara sanak keluarga, tetangga, sahabat dan
lainnya. Dalam acara kunjungan rumah ke rumah biasanya dihidangkan berbagai
makanan dan minuman. Namun, Kali ini suasana lebaran sangat jauh berbeda, warga
kota mayoritas berkumpul dan bermaaf-maafan di warung kopi.
![]() |
Ilustrasi |
Diantara puluhan pengunjung, selain melakukan kegiatan bermaaf-maafan,
sebagian asik dengan hobinya dengan main domino, sebagian juga diskusi tentang
politik lokal dan nasional yang sudah dan akan berlangsung kedepan. Dan
sebagian pengunjung asik bermain catur. Warkop dijadikan warga sebagai tempat
untuk berdiskusi dan bermain. Namun, Pengunjung warkop tidak selamanya tinggal
berlama-lama, sebagian hanya datang minum kopi saja dan lalu pulang. .
Sehabis melepas kartu dominonya, Dedy melanjutkan ceritanya tentang
warung kopi di Kota Kalong. Ia mendapat banyak cerita sejarah warung kopi dari
kakeknya. Ia sering dibawa oleh neneknya ke warung kopi semasa kecilnya. Pada
masa kecil dedy, pusat pertokoan belum diubah menjadi seperti sekarang dengan
bangunan kotak-kotak. Dulu masih berupa pasar tradisional. Umur Dedy sudah
mencapai 30 tahun sekarang, dan jauh sebelum dia lahir warung kopi sudah ada di
Kota Kalong.
![]() |
Suasana di Warkop Semarang, Soppeng |
Dedy menunjuk salah satu warkop yang berada dibelakang pusat pertokoan,
Warkop Sedap. Menurut dia, Warkop itu yang terbilang baru di kota kalong.
Warung Sedap dulu berupa warung makan dan diubah menjadi Warkop 15 tahun lalu.
Mengapa diubah ?, menurut dedy, “Prospek warung kopi jauh lebih menguntungkan
daripada warung makan. Dan budaya minum kopi orang soppeng hampir sama dengan
kehidupan warga di Aceh”.
“Sayang warung kopi di soppeng jarang dipublikasikan di media, jadi
sangat jarang diketahui masyarakat luas”, lanjut Dedy.
Warkop yang paling tua di kota kalong menurut versi Dedy yakni
Sappisenge pemiliknya bernama ahing. Adapun warkop yang lama dan masih survive
dan ramai dikunjungi warga hingga sekarang yakni warkop prima, café semarang,
warkop lasang.
Uniknya, budaya minum kopi sudah mendarah daging dalam diri warga,
tetapi tidak satupun produksi kopi di soppeng. Jenis kopi yang dinikmati warga
rata-rata berasal dari luar seperti toraja, enrekang, bahkan dari kopi luwak lampung.
“Sebuah perusahaan kopi terkenal di Kota Makassar, Coffee Toffee melakukan
surveI 2 tahun lalu, hasilnya setiap warung kopi menghabiskan 75 dos susu
kaleng dalam sebulan. Susu digunakan sebagai pemanis kopi pengganti gula.
Setiap warung kopi menghabiskan 2 sampai 3 dos susu kaleng dalam sehari. Padahal
penduduk Kabupaten Soppeng hanya sekitar 180 ribu jiwa. Berdasarkan survey itu, Coffee toffee pun
membatalkan untuk membuka usaha, takut kalah bersaing dengan tukang kopi lokal”.
Kata Dedy
Kembali ke masa lalu, Cerita Dedy berdasar dari informasi dari neneknya,
“jauh sebelum saya lahir, salah seorang pemimpin kota kalong pada tahun 1960an mengaku
kewalahan menghadapi sikap pegawainya, setiap pagi terlambat masuk kantor dan
siang hari bolos. Pegawai laki-laki pada pagi hari selalu menyempatkan diri
untuk singgah minum kopi di warkop dan lalu masuk kantor. Begitupun Pada waktu
makan siang pun begitu, pegawai rata-rata keluar kantor untuk minum kopi dan
pekerjaanpun terbengkalai. Untuk mengatasi kegerahan sang pejabat, akhirnya
diciptakan kebijakan anggaran khusus untuk kopi, dimana dikenal sekarang
anggaran minum dan makan untuk pegawai. Setiap pegawai dilarang keluar kantor
untuk mencari makan dan kopi, karena telah disiapkan pihak sekretariat kantor”.
Informasi lain yang didapatkan Dedy dari Neneknya, “Budaya minum kopi sebenarnya
berasal dari Cabenge, Salah satu kota lama di Soppeng, karena lokasinya yang
strategis untuk digunakan sebagai jalur perdagangan, berada di pinggiran sungai
Walennae. Kota Lama Cabenge masih meninggalkan bekas-bekas bangunan tua berupa
pasar dan bioskop. Daerah inilah yang menjadi pusat perdagangan masa lampau.
Orang arab dan cina berkembang biak dan bercampur baur dengan orang bugis di
daerah ini sampai sekarang. Kemungkinan karena faktor bencana banjir yang
datang setiap tahun, mengakibatkan sebagai pemilik warung kopi berpindah tempat
ke daerah ketinggian di kota kalong”.
![]() |
Pasar Lama Cabenge, Soppeng |
“Jadi jangan heran ketika mendapatkan orang yang lahir dan besar di
kota kalong, ketika keluar daerah selalu mencari warung kopi, karena memang
dibentuk sejak usia dini seperti saya ini. Saya ini ketika melakukan penelitian
diluar daerah, yang peling kucari pertama adalah warung kopi”.. kata Dedy
diikuti dengan hehehehe.
Tak terasa sudah jam 23.00, akhirnya dedy menghentikan kegiatan
dominonya dan pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari warkop semarang. Kami pun
demikian, meninggalkan Warkop dengan berbagai cerita biasa..
Bagi yang berkunjung di Kota Kalong hendak menyempatkan diri untuk menikmati hidangan cita rasa kopi ala orang soppeng yang tidak ada duanya di Sulawesi Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar