Kamis, 21 Agustus 2014

Kau Bunuh Ibuku


Ilustrasi. Sumber www.harapanrakyat.com

Nasi sudah mulai dingin dan perlahan mulai mengering. Aku memasak sejak sore dan sengaja kuhidangkan ke meja supaya ibu lekas makan. Entah masalah apa?, sejak siang ibu hanya duduk termenung di meja makan.


Tak terasa subuh telah tiba, Ibu tak kunjung cicipi makanan. Ia berkali-kali bikin kopi. Sudah berkali-kali juga ke wc untuk buang air kecil. Sudah setengah bungkus tembakau habis digulung dan dibakar lalu dihisapnya. Aku tidak berani menegurnya jangan sampai membuat dia sakit hati, aku biarkan saja.

Tubuh ibuku tambah kurus akhir-akhir ini. Entah karena puasa atau ada yang lain. Kulitnya menyerupai kulit mahoni, mengeriput akibat tua. Aku pun kasian, Ibu belum juga tidur dan tidak lama lagi ada mobil angkutan akan menjemputnya. “tidur bu, nanti loyo beraktivitas besok” tegasku. “kamu saja yang tidur nak” jawabnya.

Suara klakson mobil terdengar di depan rumah, jam 5 subuh sudah tiba. Aku bantu ibu mengangkat peti dan sebuah keranjang bambu naik ke mobil. Biasanya aku tidak membantu tetapi kwatir terjadi apa-apa dengan ibu. Soalne belum tidur dan tidak makan dari kemarin.
Sejak bapak meninggal 25 tahun lampau. Ibu mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Ia pontang panting mencari nafkah demi membiayai empat orang anaknya yang masih duduk di sekolah dasar waktu itu.

Suasana pasar tradisional sangat ramai. Maklum saat menjelang lebaran seperti ini, warga berbondong-bondong membeli perlengkapan lebaran. Aku pun merasa gembira dapat berkunjung kembali ke pasar ini. Sejak aku dikirim untuk tinggal bersama tante di kota Makassar, Aku jarang sekali menginjakkan kaki di pasar tradisional ini.

“Hai fendy, anakmu sudah berapa ?” tegurku kepada teman lama, yang juga pacar pertamaku. Hatiku sangat berbunga-bunga dapat bertemu dengan pacar pertama kembali J. “hai zarah, gimana kuliahmu sekarang ?. anakku sudah dua mboo.” ..hmm, ternyata dia sudah menikah, padahal aku hanya memancing. Wajahnya tambah ganteng aja. Fendy merupakan anak seorang pedagang pakaian sejak dulu, kami pacaran sewaktu smp karena sering bertemu di pasar ini.

“kuliahku sudah selesai kok, kamu ?”,  “Sudah selesai juga dari tahun lalu” jawabku. Walau pendapatan tidak seberapa di pasar, tetapi para pedagang menganjurkan anaknya untuk sekolah hingga perguruan tinggi agar kelak menjadi anak yang berguna untuk bangsa dan negeri ini.

“Zarah, bantu ibu”, mendengar teriakan ibu, aku pun bergegas menyusul ibu ke sebuah lapak yang beralaskan bambu.  Ibu entah mau kemana, aku menggantikannya menjual.

“kamu cantik sekarang ya.. sudah besar” tegur salah seorang penjual ikan disamping lapak ibuku,

“biasa aja, bu” dengan ketawa tersipu malu mendengar pujian itu terlontar dari mulutnya.  Sebagian mereka memintaku untuk bersilaturahmi ke rumahnya setelah lebaran. Hubungan antara sesaama pedagang layaknya seperti keluarga sendiri karena sudah berpuluh – puluh tahun bersama-sama di pasar ini. Kami saling berbagi kesedihan dan kegembiraan. Begitupun hubungan kami dengan pembeli yang berasal dari kampung-kampung.

Pasar tradisional ini sudah sejak lama berdiri. Berdasarkan cerita kakekku sewaktu aku masih kecil. Katanya, pasukan arung palakka paling suka berbelanja di pasar tradisional ini. Biasanya mereka berbondong-bondong ke pasar setelah melakukan perang di luar dan pulang hidup normal bersama keluarga. Pasukan kompeni bekerjasama konconya berkali-kali ingin mengusir pedagang pribumi demi melegalkan monopoli pasarnya tetapi selalu gagal. Arung Palakka bersama pasukannya selalu menghadang dan mengusiran paksa pedagang kala itu.

Kue kesukaanku pun dibawa ibu ke dekatku, “kue afang” dan “kue baje golla cella”. Kue  afang terbuat dari tepung yang dicampur dengan gula merah, sedangkan kue baje terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan gula merah. Waktu masih kecil, Aku sangat gembira ketika ibu membawa kue tradisional pulang ke rumah, karena dapat mengurangi uang jajanku dan dapat kujadikan sebagai bekal keesokan harinya. Kue tradisional itu, makanan favoritku sejak SD sampai sekarang. Pasalnya tidak mengandung bahan pengawet dan zat kimia seperti halnya makanan cepat saji di perkotaan.

Semiggu sesudah lebaran, ratusan kepala ular, kepala harimau, kepala anjing dan kepala babi turun dari mobil box.  Para kepala binatang itu dilengkapi tameng, pentungan, linggis dan palu. “berharap semua apedagang untuk pergi sekarang, sebelum kami bertindak” suara ancaman keluar dari megaphone.

Si Anjing mendekati ibuku dan berkata “cepatko pergi tailaso sebelum kupukulko”, mulutnya sangat kasar melampaui sifat kebinatangannya. Ibuku tak menghiraukan perintah si kepala anjing dan tetap pertahankan lapak dan barang dagangannya.

Si Kepala anjing kesal melihat tingkah ibuku, sepatu larasnya diterbangkan sekali, peti ikan ibuku hancur dan ikan terlempar berhamburan ke Tanah, air dalam peti mengenai muka ibuku. Aku pun bergegas mendekat walau dipenuhi ketakutan. Aku memeluk ibu erat-erat. Ibu tak henti-hentinya menangis tersedu-sedu dan memohon “Pak, Jangan ganggu daganganku, ini hartaku satu-satunya di dunia ini”… Si kepala anjing tak peduli permohonan itu, Naluri kebinatangannya tetap ditunjukkan dengan mengacungkan pentungan ke arahku. Seolah kehidupan dunia ini hanyalah miliknya. Air matakupun jatuh perlahan-lahan

Seorang pemuda berbadan kecil, putih dan gagah melompat dari belakang lapak ibuku. “berhentiko tailaso, kau hanya bisa lawan perempuan. Coba lawan’ka. Buka baju seragammu dan buang pistolmu.  Satu lawan satu” kata si pemuda.

Tak cukup 10 menit si pemuda dikeroyok oleh para kepala binatang itu. Baju pemuda itu sobek-sobek, badan dan kepalanya berlumuran darah. Setelah tidak berdaya, pemuda itu diseret dan dilempar masuk kedalam mobil box.  Entah mau dibawa ke penjara atau rumah sakit. tidak jelas, tidak jelas.

Ketakutanku semakin dalam dan tidak bisa berbuat banyak, hanya bisa menggerutu dalam hati. Orang tuaku kadang berutang untuk bayar pajak demi memberi makan anak istrimu, malah kau balas dengan perlakuan kasar seperti ini. Semoga nasi kau makan tidak menjadi api dalam tubuhmu.

Serasa ingin membakar semua sertifikat penghargaan “ekonomi kerakyatan” yang selama ini selalu kuikuti di seminar lokal, nasional dan international.  Kemandirian ekonomi rakyat hanya bahan diskusi para professor di kampus-kampus. Pedagang kaki lima hanya dipuji ketika krisis moneter. Ya Onani, memang onani hanya indah dalam teori.

Semua lapak telah rata dengan tanah.Si kepala binatang sudah mulai meninggalkan lokasi. Ibukumemungut satu persatu ikan jualannya yang berhamburan di tanah, sambil menangis tersedu-sedu. Sekitar 10 ikan mujair kami masukkan kedalam kantong plastik untuk dibawa pulang ke rumah.

Ibu hanya bisa merenung di meja makan. Sudah dua minggu lamanya, ibu hanya duduk dan tidak mau makan, minum dan tidur. Ia hanya duduk di meja makan. Ajal pun menjemput. Dan kau buat sejarah baru. Kau bunuh ibuku, kau bunuh ibuku.

Untuk Pedagang Ikan Di Bone

Tidak ada komentar:

Posting Komentar