![]() |
Ilustrasi. Sumber www.harapanrakyat.com |
Nasi
sudah mulai dingin dan perlahan mulai mengering. Aku memasak sejak sore dan
sengaja kuhidangkan ke meja supaya ibu lekas makan. Entah masalah apa?, sejak
siang ibu hanya duduk termenung di meja makan.
Tak
terasa subuh telah tiba, Ibu tak kunjung cicipi makanan. Ia berkali-kali bikin
kopi. Sudah berkali-kali juga ke wc untuk buang air kecil. Sudah setengah
bungkus tembakau habis digulung dan dibakar lalu dihisapnya. Aku tidak berani
menegurnya jangan sampai membuat dia sakit hati, aku biarkan saja.
Tubuh
ibuku tambah kurus akhir-akhir ini. Entah karena puasa atau ada yang lain.
Kulitnya menyerupai kulit mahoni, mengeriput akibat tua. Aku pun kasian, Ibu
belum juga tidur dan tidak lama lagi ada mobil angkutan akan menjemputnya.
“tidur bu, nanti loyo beraktivitas besok” tegasku. “kamu saja yang tidur nak”
jawabnya.
Suara
klakson mobil terdengar di depan rumah, jam 5 subuh sudah tiba. Aku bantu ibu
mengangkat peti dan sebuah keranjang bambu naik ke mobil. Biasanya aku tidak
membantu tetapi kwatir terjadi apa-apa dengan ibu. Soalne belum tidur dan tidak
makan dari kemarin.
Sejak
bapak meninggal 25 tahun lampau. Ibu mengambil peran sebagai tulang punggung
keluarga. Ia pontang panting mencari nafkah demi membiayai empat orang anaknya
yang masih duduk di sekolah dasar waktu itu.
Suasana
pasar tradisional sangat ramai. Maklum saat menjelang lebaran seperti ini,
warga berbondong-bondong membeli perlengkapan lebaran. Aku pun merasa gembira
dapat berkunjung kembali ke pasar ini. Sejak aku dikirim untuk tinggal bersama
tante di kota Makassar, Aku jarang sekali menginjakkan kaki di pasar
tradisional ini.
“Hai
fendy, anakmu sudah berapa ?” tegurku kepada teman lama, yang juga pacar
pertamaku. Hatiku sangat berbunga-bunga dapat bertemu dengan pacar pertama
kembali J. “hai zarah, gimana kuliahmu
sekarang ?. anakku sudah dua mboo.” ..hmm, ternyata dia sudah menikah, padahal
aku hanya memancing. Wajahnya tambah ganteng aja. Fendy merupakan anak seorang
pedagang pakaian sejak dulu, kami pacaran sewaktu smp karena sering bertemu di
pasar ini.
“kuliahku
sudah selesai kok, kamu ?”, “Sudah
selesai juga dari tahun lalu” jawabku. Walau pendapatan tidak seberapa di
pasar, tetapi para pedagang menganjurkan anaknya untuk sekolah hingga perguruan
tinggi agar kelak menjadi anak yang berguna untuk bangsa dan negeri ini.
“Zarah,
bantu ibu”, mendengar teriakan ibu, aku pun bergegas menyusul ibu ke sebuah
lapak yang beralaskan bambu. Ibu entah
mau kemana, aku menggantikannya menjual.
“kamu
cantik sekarang ya.. sudah besar” tegur salah seorang penjual ikan disamping
lapak ibuku,
“biasa
aja, bu” dengan ketawa tersipu malu mendengar pujian itu terlontar dari
mulutnya. Sebagian mereka memintaku
untuk bersilaturahmi ke rumahnya setelah lebaran. Hubungan antara sesaama
pedagang layaknya seperti keluarga sendiri karena sudah berpuluh – puluh tahun
bersama-sama di pasar ini. Kami saling berbagi kesedihan dan kegembiraan.
Begitupun hubungan kami dengan pembeli yang berasal dari kampung-kampung.
Pasar
tradisional ini sudah sejak lama berdiri. Berdasarkan cerita kakekku sewaktu
aku masih kecil. Katanya, pasukan arung palakka paling suka berbelanja di pasar
tradisional ini. Biasanya mereka berbondong-bondong ke pasar setelah melakukan
perang di luar dan pulang hidup normal bersama keluarga. Pasukan kompeni
bekerjasama konconya berkali-kali ingin mengusir pedagang pribumi demi
melegalkan monopoli pasarnya tetapi selalu gagal. Arung Palakka bersama
pasukannya selalu menghadang dan mengusiran paksa pedagang kala itu.
Kue
kesukaanku pun dibawa ibu ke dekatku, “kue afang” dan “kue baje golla cella”.
Kue afang terbuat dari tepung yang
dicampur dengan gula merah, sedangkan kue baje terbuat dari beras ketan yang
dicampur dengan gula merah. Waktu masih kecil, Aku sangat gembira ketika ibu
membawa kue tradisional pulang ke rumah, karena dapat mengurangi uang jajanku
dan dapat kujadikan sebagai bekal keesokan harinya. Kue tradisional itu,
makanan favoritku sejak SD sampai sekarang. Pasalnya tidak mengandung bahan
pengawet dan zat kimia seperti halnya makanan cepat saji di perkotaan.
Semiggu
sesudah lebaran, ratusan kepala ular, kepala harimau, kepala anjing dan kepala
babi turun dari mobil box. Para kepala
binatang itu dilengkapi tameng, pentungan, linggis dan palu. “berharap semua
apedagang untuk pergi sekarang, sebelum kami bertindak” suara ancaman keluar
dari megaphone.
Si
Anjing mendekati ibuku dan berkata “cepatko pergi tailaso sebelum kupukulko”,
mulutnya sangat kasar melampaui sifat kebinatangannya. Ibuku tak menghiraukan
perintah si kepala anjing dan tetap pertahankan lapak dan barang dagangannya.
Si
Kepala anjing kesal melihat tingkah ibuku, sepatu larasnya diterbangkan sekali,
peti ikan ibuku hancur dan ikan terlempar berhamburan ke Tanah, air dalam peti
mengenai muka ibuku. Aku pun bergegas mendekat walau dipenuhi ketakutan. Aku
memeluk ibu erat-erat. Ibu tak henti-hentinya menangis tersedu-sedu dan memohon
“Pak, Jangan ganggu daganganku, ini hartaku satu-satunya di dunia ini”… Si
kepala anjing tak peduli permohonan itu, Naluri kebinatangannya tetap
ditunjukkan dengan mengacungkan pentungan ke arahku. Seolah kehidupan dunia ini
hanyalah miliknya. Air matakupun jatuh perlahan-lahan
Seorang
pemuda berbadan kecil, putih dan gagah melompat dari belakang lapak ibuku.
“berhentiko tailaso, kau hanya bisa lawan perempuan. Coba lawan’ka. Buka baju
seragammu dan buang pistolmu. Satu lawan
satu” kata si pemuda.
Tak
cukup 10 menit si pemuda dikeroyok oleh para kepala binatang itu. Baju pemuda
itu sobek-sobek, badan dan kepalanya berlumuran darah. Setelah tidak berdaya,
pemuda itu diseret dan dilempar masuk kedalam mobil box. Entah mau dibawa ke penjara atau rumah sakit.
tidak jelas, tidak jelas.
Ketakutanku
semakin dalam dan tidak bisa berbuat banyak, hanya bisa menggerutu dalam hati.
Orang tuaku kadang berutang untuk bayar pajak demi memberi makan anak istrimu,
malah kau balas dengan perlakuan kasar seperti ini. Semoga nasi kau makan tidak
menjadi api dalam tubuhmu.
Serasa
ingin membakar semua sertifikat penghargaan “ekonomi kerakyatan” yang selama
ini selalu kuikuti di seminar lokal, nasional dan international. Kemandirian ekonomi rakyat hanya bahan
diskusi para professor di kampus-kampus. Pedagang kaki lima hanya dipuji ketika
krisis moneter. Ya Onani, memang onani hanya indah dalam teori.
Semua
lapak telah rata dengan tanah.Si kepala binatang sudah mulai meninggalkan
lokasi. Ibukumemungut satu persatu ikan jualannya yang berhamburan di tanah,
sambil menangis tersedu-sedu. Sekitar 10 ikan mujair kami masukkan kedalam
kantong plastik untuk dibawa pulang ke rumah.
Ibu
hanya bisa merenung di meja makan. Sudah dua minggu lamanya, ibu hanya duduk
dan tidak mau makan, minum dan tidur. Ia hanya duduk di meja makan. Ajal pun
menjemput. Dan kau buat sejarah baru. Kau bunuh ibuku, kau bunuh ibuku.
Untuk
Pedagang Ikan Di Bone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar