Rabu, 20 Agustus 2014

SMS Dari Pedalaman 1



Bunyi jangkrik di penghujung malam, sunyi yang tak lagi terhindarkan. Suara bising kendaraan dan lagu diskotik tak ada disini. Kehidupan yang sangat indah untuk merenung hari kemarin dan langkah hari esok. HP dalam tas daypack tiba – tiba bunyi, bunyi yang mengisyaratkan sebuah pesan pendek masuk. Kubuka tas itu, sms dari seorang ibu tangga dari pedalaman Bone. Ia meminta komentarku terkait dengan tajuk rencana Koran tempo hari kemarin (19/07). Si Ibu membaca koran yang dibawa sopir transportasi umum (panther) yang dari Kota Makassar. Isi tajuk rencana redaksi koran tempo tentang dukungannya terhadap langkah-langkah Jokowi untuk merebut tanah-tanah Negara dari warga illegal. Bahkan diakhir tajuk itu Jokowi diharapkan belajar dari langkah yang pernah dilakukan Dahlan Iskan, Menteri BUMN dan Jonan, Kepala PT KAI dalam membersihkan stasiun sejabodetabek dari pedagang kaki lima.


Saya pun tidak tahu menahu tentang masalah itu, demi memuaskan hati sang Ibu, saya mencoba sms kawan yang sedang menempuh kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia terkait masalah tersebut. Kawanku pun langsung merespon dengan menelepon langsung di ujung malam. Pernyataan di awal pembicaraan cukup datar dan santai. Namun dipertengahan pembicaraan kami, kawanku mulai memunculkan naluri kekesalahan pada tingkah pejabat BUMN dan PT KAI 2 tahun lalu. Dia kesal dengan tindakan pengusiran paksa pedagang di stasiun UI, padahal para pedagang itu sering membantu mahasiswa yang kelas tengah kebawah ketika musim penceklik. Kebijakan kontroversial itu tidak hanya menyingkirkan pedagang kecil tetapi mengeluarkan kebijakan dengan memasukkan pedagang makanan dari luar negeri. Pemberdayaan pedagang yang sudah ada tidak mampu dilakukan, maka dengan cara memasukkan pedagang luar negeri dengan gampang demi memperbesar keuntungan KAI. Menurut kawanku, Gaya penindasan baru diciptakan oleh bangsa sendiri bekerjasama dengan pihak luar negeri.


Kekesalan tidak berhenti sampai disitu, Kawanku mengungkapkan kekesalannya terhadap tindakan KAI terhadap pedagang buku loak yang berada di Stasiun Tebet, Jakarta selatan. Para pedagang mengalami kondisi yang sama dengan cara yang tidak manusiawi, melakukan pengusiran paksa tanpa solusi buat pedagang-pedagang itu. Padahal mereka juga bayar restribusi untuk dijadikan pendapatan Negara. Mereka juga inginkan ketertiban demi keselamatan penumpang. Namun, pihak PT KAI tak memperdulikan itu semua. Yang ada hanyalah pengusiran dan pengusiran. Pengusiran yang sangat dan sungguh mengerikan pada bangsa kita yang sudah merdeka selama 63 tahun.


Kita memang sudah menjadi relawan Jokowi tanpa dibayar untuk melawan dominasi prabowo pada saat pilpres kemarin. Dan ketika situasi itu mulai mengorbankan “wargabiasa” maka kita harus kembali menjadi seperti dulu, kritis terhadap penguasa yang menciptakan kebijakan semaunya. Jiwa kritis itu penting untuk membangun bangsa ini, jangan sampai orang-orang dibutakan terhadap hal-hal kecil, padahal itu tidak lain penjajahan gaya baru. 

Kasus waduk pluit itu sebenarnya bukan sepenuhnya untuk kepentingan publik. Pengusiran paksa warga Kampung Penjaringan tidak lain untuk memenuhi permintaan penghuni perumahan elit yang berada di pluit, dan salah satunya yang bertempat tinggal disitu adalah Ahok, Wakil Gubernur Jakarta sekarang ini. Ketika kita menonton televisi semua itu demi taman kota dan publik, tapi itu hanyalah pengalihan isu, ribuan warga yang terusir tidak mempunyai tempat tinggal. Rusunawa yang diciptakan untuk korban pengusiran tidak tepat sasaran, karena sebagian besar penghuninya bukan korban pengusiran melainkan korban banjir.


“Btw, Kapan selesai kuliahmu ?, jangan terlalu lama selesai nanti kamu jadi aki-aki di kampus. Hehehe.  tanyaku diakhir pembicaraan. “udah urus ujian, mungkin dah kelar taon ini. Eh, kalo ke Jakarta mampir dan kita makan bareng ya”. Si kawan mengajak. “sip sip say. Ma kasih atas penjelasannya” jawabku.


Saya pun menelepon Si Ibu yang berada di pedalaman Bone dan memberikan penjelasan bahwa sebenarnya orang-orang di Koran tempo di Makassar maupun Jakarta itu merupakan teman seperjuangan. Dan merupakan media idaman yang selalu konsisten dalam investigasi kasus besar dan beberapa kali dibrendel oleh penguasa karena kenakalannya.  Tetapi jika keberpihakan ke “wargabiasa” tidak lagi menjadi prorietas, maka kita “orangbiasa” harus memperjelas posisi kita. Ya, namanya manusia terus ber ubah-ubah. Hari ini kawan, esok menjadi lawan. Semoga kita berdua tidak demikian, melihat sesuatu masalah menjadi abu-abu. Pokoke kita “orangbiasa” akan selalu berdiri pada jalur kebenaran dan berjuang bersama mereka yang tertindas demi mencapai kemerdekaan 100%. Dan itulah makna kemerdekaan bagi kami “orangbiasa”.


“selamat beristirahat bu, sampai ketemu lain waktu, semoga mimpi indah”. Kata terakhir di ujung pembicaraan kami. Ayam mulai berkokok satu persatu untuk menyambut pagi yang indah. Selamat hari rabu.
           Bentrokan Mahasiswa dengan Polisi dalam kasus pengusiran paksa pedagang di Stasiun UI. Sumber  Foto : Tempo.co.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar