Bunyi
jangkrik di penghujung malam, sunyi yang tak lagi terhindarkan. Suara bising
kendaraan dan lagu diskotik tak ada disini. Kehidupan yang sangat indah untuk
merenung hari kemarin dan langkah hari esok. HP dalam tas daypack tiba – tiba bunyi,
bunyi yang mengisyaratkan sebuah pesan pendek masuk. Kubuka tas itu, sms dari
seorang ibu tangga dari pedalaman Bone. Ia meminta komentarku terkait dengan
tajuk rencana Koran tempo hari kemarin (19/07). Si Ibu membaca koran yang dibawa sopir transportasi
umum (panther) yang dari Kota Makassar. Isi tajuk rencana redaksi koran
tempo tentang dukungannya terhadap langkah-langkah Jokowi untuk merebut
tanah-tanah Negara dari warga illegal. Bahkan diakhir tajuk itu Jokowi
diharapkan belajar dari langkah yang pernah dilakukan Dahlan Iskan, Menteri
BUMN dan Jonan, Kepala PT KAI dalam membersihkan stasiun sejabodetabek dari
pedagang kaki lima.
Saya
pun tidak tahu menahu tentang masalah itu, demi memuaskan hati sang Ibu, saya
mencoba sms kawan yang sedang menempuh kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Indonesia terkait masalah tersebut. Kawanku pun langsung
merespon dengan menelepon langsung di ujung malam. Pernyataan di awal
pembicaraan cukup datar dan santai. Namun dipertengahan pembicaraan kami,
kawanku mulai memunculkan naluri kekesalahan pada tingkah pejabat BUMN dan PT
KAI 2 tahun lalu. Dia kesal dengan tindakan pengusiran paksa pedagang di
stasiun UI, padahal para pedagang itu sering membantu mahasiswa yang kelas
tengah kebawah ketika musim penceklik. Kebijakan kontroversial itu tidak hanya
menyingkirkan pedagang kecil tetapi mengeluarkan kebijakan dengan memasukkan
pedagang makanan dari luar negeri. Pemberdayaan pedagang yang sudah ada tidak
mampu dilakukan, maka dengan cara memasukkan pedagang luar negeri dengan
gampang demi memperbesar keuntungan KAI. Menurut kawanku, Gaya penindasan baru
diciptakan oleh bangsa sendiri bekerjasama dengan pihak luar negeri.
Kekesalan
tidak berhenti sampai disitu, Kawanku mengungkapkan kekesalannya terhadap
tindakan KAI terhadap pedagang buku loak yang berada di Stasiun Tebet, Jakarta selatan.
Para pedagang mengalami kondisi yang sama dengan cara yang tidak manusiawi,
melakukan pengusiran paksa tanpa solusi buat pedagang-pedagang itu. Padahal mereka
juga bayar restribusi untuk dijadikan pendapatan Negara. Mereka juga inginkan
ketertiban demi keselamatan penumpang. Namun, pihak PT KAI tak memperdulikan
itu semua. Yang ada hanyalah pengusiran dan pengusiran. Pengusiran yang sangat
dan sungguh mengerikan pada bangsa kita yang sudah merdeka selama 63 tahun.
Kita
memang sudah menjadi relawan Jokowi tanpa dibayar untuk melawan dominasi
prabowo pada saat pilpres kemarin. Dan ketika situasi itu mulai mengorbankan “wargabiasa”
maka kita harus kembali menjadi seperti dulu, kritis terhadap penguasa yang
menciptakan kebijakan semaunya. Jiwa kritis itu penting untuk membangun bangsa
ini, jangan sampai orang-orang dibutakan terhadap hal-hal kecil, padahal itu
tidak lain penjajahan gaya baru.
Kasus waduk pluit itu sebenarnya bukan sepenuhnya untuk kepentingan publik. Pengusiran paksa warga Kampung Penjaringan
tidak lain untuk memenuhi permintaan penghuni perumahan elit yang berada di
pluit, dan salah satunya yang bertempat tinggal disitu adalah Ahok, Wakil
Gubernur Jakarta sekarang ini. Ketika kita menonton televisi semua itu demi
taman kota dan publik, tapi itu hanyalah pengalihan isu, ribuan warga yang terusir
tidak mempunyai tempat tinggal. Rusunawa yang diciptakan untuk korban
pengusiran tidak tepat sasaran, karena sebagian besar penghuninya bukan korban pengusiran
melainkan korban banjir.
“Btw,
Kapan selesai kuliahmu ?, jangan terlalu lama selesai nanti kamu jadi aki-aki
di kampus. Hehehe. tanyaku diakhir
pembicaraan. “udah urus ujian, mungkin dah kelar taon ini. Eh, kalo ke Jakarta mampir
dan kita makan bareng ya”. Si kawan mengajak. “sip sip say. Ma kasih atas
penjelasannya” jawabku.
Saya
pun menelepon Si Ibu yang berada di pedalaman Bone dan memberikan penjelasan
bahwa sebenarnya orang-orang di Koran tempo
di Makassar maupun Jakarta itu merupakan teman seperjuangan. Dan merupakan
media idaman yang selalu konsisten dalam investigasi kasus besar dan beberapa
kali dibrendel oleh penguasa karena kenakalannya. Tetapi jika keberpihakan ke “wargabiasa”
tidak lagi menjadi prorietas, maka kita “orangbiasa” harus memperjelas posisi
kita. Ya, namanya manusia terus ber ubah-ubah. Hari ini kawan, esok menjadi
lawan. Semoga kita berdua tidak demikian, melihat sesuatu masalah menjadi
abu-abu. Pokoke kita “orangbiasa” akan selalu berdiri pada jalur kebenaran dan
berjuang bersama mereka yang tertindas demi mencapai kemerdekaan 100%. Dan itulah
makna kemerdekaan bagi kami “orangbiasa”.
“selamat
beristirahat bu, sampai ketemu lain waktu, semoga mimpi indah”. Kata terakhir
di ujung pembicaraan kami. Ayam mulai berkokok satu persatu untuk menyambut
pagi yang indah. Selamat hari rabu.
![]() |
Bentrokan Mahasiswa dengan Polisi dalam kasus pengusiran paksa pedagang di Stasiun UI. Sumber Foto : Tempo.co.id |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar